Kamis, 17 April 2014

Semakin Jauh



            Tak pernah aku lupa bagaimana kebiasaanmu yang setiap pagi selalu memberikan ucapan “selamat pagi” melalui media SMS. Sampai matahari dengan congkak menunjukkan sinarnya, kebiasaanmu itu terus berlanjut. Aku bahkan heran, kamu itu pacarku atau alarm yang dengan otomatis akan mengucap salam. Selamat pagi. Selamat siang. Selamat sore. Selamat malam. Tapi justru itu lah yang aku rindukan sekarang. Salam yang tak lagi ada untuk menghiasi kotak masuk pesan di ponselku.
            Aku juga masih ingat, betapa suaramu yang aku rindukan itu selalu menemani beberapa jam dalam keseharianku. Entah untuk sekedar menanyakan kabarku, kegiatanku. Itu merupakan hal rutin yang selalu kau lakukan. Kotamu yang berada di daerah pedesaan tak pernah menjadi alasan untuk sulitnya signal demi kita bisa saling berbicara. Karena dengan cara inilah rindu kita bisa saling bertemu walau tangan tak berpagutan, walau wajah tak saling bertatap muka. Aku begitu kagum dengan usahamu, sesulit apapun keadaan disana tak menyurutkan niatmu untuk tetap bisa berhubungan denganku. Sayang, itu hanya sekejap saja.
            Aku ingat saat-saat kita berdua di rumahku. Di sofa kesayangan kita, kita selalu duduk bersebelahan. Saling bercerita, bercanda, tertawa bersama, berbagi kisah. Pipiku yang chubby selalu saja jadi tujuan utama pendaratan tanganmu untuk kau cubit dengan gemasnya. Kita begitu menikmati saat bahagia itu. Ketika aku menyiapkan makan siang untukmu, kita makan bersama, berangkat ke tempat kerja bersama. Aku begitu rindu kebersamaan kita di rumahku. Namun kini tak lagi aku rasakan.
            Semenjak ponselmu yang berubah menjadi smartphone, kita semakin rajin memberi kabar lewat media whatsapp. Aku masih bisa terima itu. Tak apa aku tak pernah mendapat pesan singkat darimu, tak apa aku tak lagi mendengar suaramu, asal aku masih tahu angin kabarmu saja aku bahagia. Walau sebenarnya sesekali aku masih sangat ingin kembali pada saat-saat itu.
            Dulu dalam gedung yang sama namun berbeda bagian, aku masih bisa menikmati kebersamaan kita, jam kerja kita yang hampir sama dalam satu minggunya membuatmu punya tanggung jawab untuk selalu mengantarku pulang. Jam kerja yang kini tak pernah lagi sama karena jabatanmu yang bukan lagi seorang dishwasher, harus membuat hatiku lebih lapang lagi menerima kenyataan ini. Kita semakin jauh.
            Sebenarnya ini pertanda atau hanya sekedar ujian cinta kita? Kenapa semakin kesini kita seperti semakin di jauhkan. Aku tak pernah mendapati namamu muncul di kotak masuk pesanku, tak pernah menjumpai namamu di daftar panggilan masukku. Hanya dalam riwayat obrolan whatsapp saja. Sampai pada suatu waktu aku juga menjadi pengguna blackberry messenger kita kembali melakukan contact hanya melaui BBM. Tak ada lagi jejak motormu yang parkir di halaman rumahku. Bahkan mungkin kamu tak pernah ke rumahku lagi. Sejak orang tuaku yang tak menginginkan kedekatan kita terus berlanjut.
            Aku rindu kamu, aku rindu kita yang bersama-sama. Kapan kebersamaan itu akan terulang kembali dan akan menjadi abadi? Dengan banyaknya rintangan yang telah datang apa aku mampu terus memperjuangkan cinta kita? Menjaga segalanya dan tetap menantikan masa itu tiba, masa dimana kita akan bersama dan tak kan terpisah lagi? Walau aku masih belum tau pasti kapan hari itu akan menghampiri. Aku wanita, dan karena wanita terbiasa menunggu, namun jika terlalu lama bukankah itu melelahkan? Keadaanpun memaksa kita untuk kian merenggang. Aku tak bisa, sayang. Hanya untuk bersandiwara? Baiklah aku usahakan. Tapi, jangan pernah berfikir bahwa aku ingin menjauhimu dalam arti sebenarnya, karena hati ini sudah tertuju padamu. Hanya untukmu, dan selamanya akan selalu begitu.

Senin, 07 April 2014

Ini Bukan Permainan



Masih dengan asap rokok yang memenuhi ruang kost ku ini, aku kembali menerawang ke luar jendela. Berharap ada keteduhan di langit yang begitu teriknya. Berusaha mencari secercah harapan yang sekiranya masih bisa aku raih.
Setelah apa yang terjadi beberapa bulan lalu, aku masih belum sepenuhnya menyadari akan hidupku yang telah hampa. Aku kehilangan banyak hal yang berharga. Separuh jiwaku. Seseorang yang begitu berarti dalam hidup ini.
Seharusnya ini bukan menjadi sesuatu yang harus aku sesalkan. Aku mendapatkan apa yang pernah aku tanam sendiri. Untuk sesaat, aku biarkan anganku kembali ke masa lalu. Masa dimana aku harusnya menghabiskan waktu berdua denganmu. Iya, harusnya. Tapi kini aku tlah kehilangan kesempatan itu. Untuk alasan yang sama; karna salahku.
Dimana letak logikaku pada waktu itu? Dimana akal sehatku pada masa itu? Tanpa berfikir akan akibat dari perbuatanku, dengan mudahnya aku khianati cinta wanita yang begitu tulus menyayangiku. Wanita pertama yang aku sunting. Wanita yang aku harapkan akan menjadi pendampingku selamanya. Dan aku lebih memilih dia yang lain.
Betapa bodohnya diri ini hingga aku dapat berbuat hal sepicik itu tanpa memikirkan bagaimana perasaan istriku. Entah setan apa yang mampu menghasutku. Aku tidur dengan wanita lain. Wanita yang juga memikat hatiku. Tak pernah ada kesalahan yang istriku lakukan, lantas untuk alasan apa aku berpaling?. Aku tak tahu. Aku hilang arah. Sedihnya, aku harus memilih satu diantara dua wanita yang kini sama-sama mengisi hatiku. Karena kebodohanku sendiri, aku harus melepas seseorang yang berarti. Sosok perempuan yang takkan ku lupa. Maaf sayang, aku harus menalakmu, demi dia dan anak yang sedang dalam rahimnya.
 Ini seakan permainan, atau mungkin memang permainan? Dia yang baru lah yang memenangkan pemainan ini. Dia yang berhasil merebut pilihan ku agar memilihnya. Bukan karena aku yang tak lagi cinta pada istri pertamaku, hanya saja aku tak ingin mendapat predikat sebagai lelaki tak bertanggung-jawab. Dia yang baru yang kini menemani hariku.
Andai aku ingat lagi peristiwa itu, aku merasa malu akan diriku yang lama. Bagaimana bisa aku membuat cinta sebagai alat untuk kepuasan. Seperti barang yang sudah bosan ku beli dan bisa aku buang kapan saja, menggantinya dengan yang baru. Aku tak sadar akan posisiku yang sebentar lagi akan jadi ayah untuk janin yang sedang di kandung istriku sekarang. Seberapapun usahanya untuk berbakti padaku dan menjadi istri terbaik tak pernah aku gubris. Aku seperti tak perduli betapa besar rasa sayang yang ia tunjukkan padaku. Aku buta akan keindahan semu di sekitarku dan banyaknya wanita-wanita yang datang silih berganti di depan mataku.
Sampai ia lahir ke dunia ini. Sampai sang buah hatiku di ijinkan untuk bertemu dunia dan menghirup udara segarnya. Aku sadar akan tugasku, akan tanggung jawabku sebagai suami dan juga sebagai ayah. Melihat perjuangannya untuk memberikanku keturunan, ia pertaruhkan segalanya, bahkan nyawa. Aku berusaha untuk mengimbangi cintanya, mengimbangi rasa sayang yang pernah ia berikan hanya untukku dan akan tetap untukku. Aku mulai menyayanginya.
Namun, tuhan sepertinya sudah terlalu murka untuk melihat hamba-Nya merasakan bahagia setelah apa yang aku lakukan pada istriku. Ia hanya memberiku kesempatan untuk bertemu buah hatiku sesaat saja. Dokterpun sudah memvonis bahwa umurnya memang takkan lama. Untuk dia yang masih begitu kecil dengan penyakit yang begitu parahnya. Andai aku bisa menukarnya, ingin rasanya aku saja yang merasakan sakit itu jangan anakku. Dia jantungku, jika gagal jantung akan menghentikan langkahnya untuk bisa tumbuh dewasa maka aku bersedia untuk menjadi jantungnya. Tapi apa daya aku sebagai manusia. Tuhan sudah mengambilnya kembali. Aku tak sempat melihat langkah pertamanya. Aku takkan pernah mendengar suaranya memanggilku “papa”. Aku kehilangannya.
Hanya istriku kini yang berada di sampingku, berusaha menguatkanku. Dalam kebersamaan ini, aku takkan membiarkannya lepas juga. Sudah cukup aku kehilangan orang-orang yang aku sayang, jangan lagi. Aku berusaha menebus semua kesalahanku selama ini padanya. Sikap cuekku ingin aku ganti dengan perhatian tulusku. Seluruh hidupku akan aku serahkan padanya. Menyayanginya sepenuh hati tanpa ada permainan wanita lagi.
Tapi, apa yang aku dapat? Rupanya usaha yang aku lakukan belum mampu menenangkan amarah Tuhan. Mungkin ini lah karma yang harus aku terima. Aku tlah banyak mempermainkan cinta, dan kini aku yang di permainkannya. Aku yang mengkhianatinya berbalik ia yang mengkhianatiku.
Istriku pergi meninggalkanku bersama laki-laki lain. Aku baru menyadari akan pentingnya kehadiran dia saat aku akan kehilangannya. Mengapa ini harus terjadi? Mengapa dia harus meninggalkanku di saat aku telah mampu menyayanginya dengan tulus.
Aku tlah benar-benar menyayanginya, tapi itu terlambat. Bagaimanapun usahaku untuk mempertahankan hubungan rumah tangga ini tak bisa lagi mencegahnya untuk tetap pergi. Ia melayangkan surat gugatan cerainya. Aku bisa apa? Aku hampir tak pernah membahagiakannya, hanya sesaat saja. Mungkin dengan membiarkannya pergi akan jauh lebih membuatnya bahagia. Lagi pula orang tuanya juga tak mengharap kehadiranku untuk meminang anaknya. Tolol sekali aku baru tau semua ini sekarang. Baiklah aku akan merasa telah menyempurnakan kebahagiaannya itu ketika aku merelakannya, meski itu sulit. Ketika aku sudah benar-benar menyayanginya tapi aku harus melepasnya.
Dia pergi dan tak pernah kembali. Aku kehilangannya. Sama persis ketika aku harus melepas istri pertamaku, dan aku harus kehilangan anakku. Kini, aku kehilangan sosoknya yang selama ini aku hiraukan dan mulai aku sayang ketika dia akan pergi. Laki-laki apa aku ini.
Hidupku tak tentu arah lagi. Apa yang menjadi peganganku tlah hilang, semuanya. Lalu apa yang aku pertahankan? Sebatang rokok yang masih tetap aku genggam ini? Untuk apa, ketika habis abunya pun tak bisa mengubah kehampaan dalam hidupku. Aku tlah kalah dalam permainan yang aku buat sendiri. Dan selanjutnya aku harus membuat permainan yang baru, tetap dengan aku sebagai pemeran utamanya namun entah dengan siapa lawannya.