Masih
dengan asap rokok yang memenuhi ruang kost ku ini, aku kembali menerawang ke
luar jendela. Berharap ada keteduhan di langit yang begitu teriknya. Berusaha
mencari secercah harapan yang sekiranya masih bisa aku raih.
Setelah
apa yang terjadi beberapa bulan lalu, aku masih belum sepenuhnya menyadari akan
hidupku yang telah hampa. Aku kehilangan banyak hal yang berharga. Separuh
jiwaku. Seseorang yang begitu berarti dalam hidup ini.
Seharusnya
ini bukan menjadi sesuatu yang harus aku sesalkan. Aku mendapatkan apa yang
pernah aku tanam sendiri. Untuk sesaat, aku biarkan anganku kembali ke masa
lalu. Masa dimana aku harusnya menghabiskan waktu berdua denganmu. Iya,
harusnya. Tapi kini aku tlah kehilangan kesempatan itu. Untuk alasan yang sama;
karna salahku.
Dimana
letak logikaku pada waktu itu? Dimana akal sehatku pada masa itu? Tanpa
berfikir akan akibat dari perbuatanku, dengan mudahnya aku khianati cinta
wanita yang begitu tulus menyayangiku. Wanita pertama yang aku sunting. Wanita
yang aku harapkan akan menjadi pendampingku selamanya. Dan aku lebih memilih
dia yang lain.
Betapa
bodohnya diri ini hingga aku dapat berbuat hal sepicik itu tanpa memikirkan
bagaimana perasaan istriku. Entah setan apa yang mampu menghasutku. Aku tidur
dengan wanita lain. Wanita yang juga memikat hatiku. Tak pernah ada kesalahan
yang istriku lakukan, lantas untuk alasan apa aku berpaling?. Aku tak tahu. Aku
hilang arah. Sedihnya, aku harus memilih satu diantara dua wanita yang kini
sama-sama mengisi hatiku. Karena kebodohanku sendiri, aku harus melepas
seseorang yang berarti. Sosok perempuan yang takkan ku lupa. Maaf sayang, aku
harus menalakmu, demi dia dan anak yang sedang dalam rahimnya.
Ini seakan permainan, atau mungkin memang
permainan? Dia yang baru lah yang memenangkan pemainan ini. Dia yang berhasil
merebut pilihan ku agar memilihnya. Bukan karena aku yang tak lagi cinta pada
istri pertamaku, hanya saja aku tak ingin mendapat predikat sebagai lelaki tak
bertanggung-jawab. Dia yang baru yang kini menemani hariku.
Andai
aku ingat lagi peristiwa itu, aku merasa malu akan diriku yang lama. Bagaimana
bisa aku membuat cinta sebagai alat untuk kepuasan. Seperti barang yang sudah
bosan ku beli dan bisa aku buang kapan saja, menggantinya dengan yang baru. Aku
tak sadar akan posisiku yang sebentar lagi akan jadi ayah untuk janin yang
sedang di kandung istriku sekarang. Seberapapun usahanya untuk berbakti padaku
dan menjadi istri terbaik tak pernah aku gubris. Aku seperti tak perduli betapa
besar rasa sayang yang ia tunjukkan padaku. Aku buta akan keindahan semu di
sekitarku dan banyaknya wanita-wanita yang datang silih berganti di depan
mataku.
Sampai
ia lahir ke dunia ini. Sampai sang buah hatiku di ijinkan untuk bertemu dunia
dan menghirup udara segarnya. Aku sadar akan tugasku, akan tanggung jawabku
sebagai suami dan juga sebagai ayah. Melihat perjuangannya untuk memberikanku
keturunan, ia pertaruhkan segalanya, bahkan nyawa. Aku berusaha untuk
mengimbangi cintanya, mengimbangi rasa sayang yang pernah ia berikan hanya
untukku dan akan tetap untukku. Aku mulai menyayanginya.
Namun,
tuhan sepertinya sudah terlalu murka untuk melihat hamba-Nya merasakan bahagia
setelah apa yang aku lakukan pada istriku. Ia hanya memberiku kesempatan untuk
bertemu buah hatiku sesaat saja. Dokterpun sudah memvonis bahwa umurnya memang
takkan lama. Untuk dia yang masih begitu kecil dengan penyakit yang begitu
parahnya. Andai aku bisa menukarnya, ingin rasanya aku saja yang merasakan
sakit itu jangan anakku. Dia jantungku, jika gagal jantung akan menghentikan
langkahnya untuk bisa tumbuh dewasa maka aku bersedia untuk menjadi jantungnya.
Tapi apa daya aku sebagai manusia. Tuhan sudah mengambilnya kembali. Aku tak
sempat melihat langkah pertamanya. Aku takkan pernah mendengar suaranya
memanggilku “papa”. Aku kehilangannya.
Hanya
istriku kini yang berada di sampingku, berusaha menguatkanku. Dalam kebersamaan
ini, aku takkan membiarkannya lepas juga. Sudah cukup aku kehilangan
orang-orang yang aku sayang, jangan lagi. Aku berusaha menebus semua
kesalahanku selama ini padanya. Sikap cuekku ingin aku ganti dengan perhatian
tulusku. Seluruh hidupku akan aku serahkan padanya. Menyayanginya sepenuh hati
tanpa ada permainan wanita lagi.
Tapi,
apa yang aku dapat? Rupanya usaha yang aku lakukan belum mampu menenangkan
amarah Tuhan. Mungkin ini lah karma yang harus aku terima. Aku tlah banyak
mempermainkan cinta, dan kini aku yang di permainkannya. Aku yang
mengkhianatinya berbalik ia yang mengkhianatiku.
Istriku
pergi meninggalkanku bersama laki-laki lain. Aku baru menyadari akan pentingnya
kehadiran dia saat aku akan kehilangannya. Mengapa ini harus terjadi? Mengapa
dia harus meninggalkanku di saat aku telah mampu menyayanginya dengan tulus.
Aku
tlah benar-benar menyayanginya, tapi itu terlambat. Bagaimanapun usahaku untuk
mempertahankan hubungan rumah tangga ini tak bisa lagi mencegahnya untuk tetap
pergi. Ia melayangkan surat gugatan cerainya. Aku bisa apa? Aku hampir tak
pernah membahagiakannya, hanya sesaat saja. Mungkin dengan membiarkannya pergi
akan jauh lebih membuatnya bahagia. Lagi pula orang tuanya juga tak mengharap
kehadiranku untuk meminang anaknya. Tolol sekali aku baru tau semua ini
sekarang. Baiklah aku akan merasa telah menyempurnakan kebahagiaannya itu
ketika aku merelakannya, meski itu sulit. Ketika aku sudah benar-benar
menyayanginya tapi aku harus melepasnya.
Dia
pergi dan tak pernah kembali. Aku kehilangannya. Sama persis ketika aku harus
melepas istri pertamaku, dan aku harus kehilangan anakku. Kini, aku kehilangan
sosoknya yang selama ini aku hiraukan dan mulai aku sayang ketika dia akan
pergi. Laki-laki apa aku ini.
Hidupku
tak tentu arah lagi. Apa yang menjadi peganganku tlah hilang, semuanya. Lalu
apa yang aku pertahankan? Sebatang rokok yang masih tetap aku genggam ini?
Untuk apa, ketika habis abunya pun tak bisa mengubah kehampaan dalam hidupku.
Aku tlah kalah dalam permainan yang aku buat sendiri. Dan selanjutnya aku harus
membuat permainan yang baru, tetap dengan aku sebagai pemeran utamanya namun
entah dengan siapa lawannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar