Kamis, 06 Februari 2014

Duplikat(mu)



Aku tak pernah lupa bagaimana caramu memandangku. Sama. Sama persis seperti tatapan dia yang sekarang.
Aku tak bisa melupakan senyum indahmu itu. Sama seperti senyum yang selalu aku lihat pada dia yang sekarang.
Aku takkan melupakan saat-saat ketika bersamamu dulu. Moment yang hampir sama tercipta ketika aku berada di dekat ia yang sekarang.
Bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan ekspresimu meledekku, ketika aku kalah dari sebuah adu pendapat, dengan lidah  yang kau julurkan dan sepintas kata kau lontarkan “wekk”. Aku menemukan ekspresi itu lagi pada dia yang sekarang.
Aku tak mungkin melupakan kehangatan yang pernah kau ciptakan. Genggaman tanganmu, rengkuhan pelukmu. Begitu nyaman hati ini kala bersandar di tubuhmu, ikut merasakan detak jantungmu. Hal yang sama yang aku rasakan kembali pada ia yang sekarang.
Aku tak pernah mengerti dengan ini. Mungkinkah Tuhan kirimkan aku orang yang slalu dengan sifat dan karakter seperti itu.?
Aku pun tak menduga jika ia (yang sekarang) begitu memikat hati walau di awal jumpa aku sungguh tak menginginkan kedekatan.
Aku terlalu sayang padamu, pada masa laluku yang kini telah pergi. Meninggalkanku tanpa ada sedikit pun niat untuk kembali. Entah untuk alasan apa? Aku masih tak mengerti apa sebab dari perpisahan itu.
Terlalu susah untuk melupakanmu. Sampai kapanpun mungkin aku tak bisa menghapusmu dari memori otakku. Apalagi setelah kedekatanku dengan ia yang sekarang. Hampir sepenuhnya sifatmu ada pada ia, caranya memandang, caranya memanggil, caranya memperlakukanku. Jika aku terkena rabun dan sengaja melepas kacamataku mungkin aku akan melihat wajahmu ketika menatap ia yang sekarang. Entah tidak sengaja hingga keajaiban ini menghampiri mereka berdua, wajah mereka tampak mirip. Motor yang mereka pakai, helm. Aahhh,, aku yang terlalu menyamakan atau memang mereka yang sama.
Karena aku yang belum bisa melupakanmu, aku takut jika aku mencintai ia yang sekarang hanya karena ia sama denganmu; masa laluku.
Hingga aku bisa menemukan perbedaan diantara mereka. Kamu terlalu cuek dengan masalah yang ada. Selalu aku yang mengalah untuk menyelesaikannya. Karena aku takut jika kamu semakin marah ketika aku pun marah. Tapi ia, ia berbeda. Ia justru menuntunku untuk tidak saling mendahulukan ego masing-masing. Menyelesaikan masalah bersama, bertukar pendapat, tidak melulu men-judge sebelum bertanya dulu. Ia yang lebih sering mengalah karena takut aku pergi, takut kehilanganku. Ia lebih dewasa dalam menyikapi sikapku yang kekanak-kanakan. Ia lebih mengertiku. Ia… istimewa.
Aku pun mulai bisa menerimanya walau belum sepenuhnya melupakan masa laluku. Tapi, sampai kapan aku akan terus menyakiti hatinya dengan kepura-puraanku.
“Sayang, aku minta maaf jika hatiku masih terbagi dua, untuknya masa laluku dan untukmu, tapi aku tak bisa jika harus melupakannya. Aku hanya ingin untuk tidak mengingatnya, hingga kamu yang akan mengisi hatiku sepenuhnya. Tolong untuk tidak memaksaku menghapusnya dari ingatanku. Aku sudah berhasil berjalan dari masa galauku. Kini aku berada disini bersamamu dan ingin melangkah ke masa depan hanya denganmu”
Dalam seleksi pencarian jodohku, ia yang sekarang yang berhasil menyisihkan begitu banyak laki-laki. Aku tlah yakin untuk memilihnya. Ia yang terbaik untukku. Aku menyayanginya, kali ini bukan karena ia sama dengan masa laluku. Tapi karna tulus kasihnya yang pantas untuk dapatkan tulus kasihku pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar